Halaman

Kamis

Industri Farmasi Yang (Masih) Bergantung Bahan Baku Impor

Saat ini Indonesia adalah negara yang memasuki fase berkembang. Bermacam perusahaan dan industri berlomba-lomba menanamkan modalnya serta berinvestasi di sini, tidak terkecuali industri farmasi yang memproduksi obat dan bahan obat. Negara berkembang memiliki tingkat pembangunan yang bervariasii, sejumlah negara berkembang bahkan telah memiliki standar hidup rata-rata yang tinggi. Dengan banyaknya investor yang menanamkan modal, Indonesia dinilai memiliki peluang besar menjadi pasar untuk industri farmasi meski industri di dalam negeri masih sangat tergantung pada bahan baku impor. Negara berkembang biasanya kesejahteraan materialnya belum mencukupi untuk melakukan keperluan produksi, kesejahteraan materialnya masih rendah. Indonesia masih mengimpor lebih dari 95 persen bahan baku produksi farmasi dari India, Cina, dan Eropa. Kesulitan bahan baku ini disebabkan oleh belum adanya dukungan penuh dari pemerintah dalam penyediaan bahan baku untuk produksi farmasi.
Kenapa bahan baku penting? Ternyata 25% dari nilai total produksi adalah bahan baku, jadi jelas bahan baku adalah suatu hal yang penting pada tahapan produksi. Salah satu negara yang industri farmasinya sudah maju adalah Cina. Cina menjadi negara industri yang kuat karena mendapat dukungan penuh dari pemerintah setempat, salah satu bentuk dukungan itu adalah pemberian subsidi dalam bentuk pajak. Jika sudah kompetitif, pelan-pelan subsidi akan dicabut oleh pemerintah.Hal ini untuk mengurangi ketergantungan dan menjadikan industri lebih kuat dan bisa menjalankan usahanya sendiri. Dipermudah ditahap awalnya, kemudian dilepas perlahan hingga bisa berdiri sendiri di bawah naungan unit usahanya.

Untuk keperluan riset menemukan dan membentuk molekul pada sebuah produksi obat, membutuhkan biaya yang cukup besar. Hal inilah yang kadang memberatkan pemerintah saat akan turun tangan membantu industri farmasi. Jika tetap memaksakan membuat bahan baku industri farmasi di dalam negeri dengan biaya yang tinggi, maka harga keluaran produk farmasi itu nantinya tidak memiliki daya saing dengan produk impor seperti dari Cina dan India. Di kedua negara itu, material dasar untuk pembuatan bahan baku industri farmasi sudah tersedia, mereka sudah punya bahan dasar kimianya. Produk dalam negeri pun tidak memiliki daya saing sebab harga jual yang ditawarakan pasti lebih mahal dibanding negara lain.

Menyikapi ketergantungan bahan baku impor pada industri farmasi tadi, ada masalah lain yang timbul akibat tidak tersedianya bahan baku obat-obatan. Industri farmasi global belakangan ini marak oleh peredaran produk farmasi dan obat palsu, meskipun kejadian ini lebih umum terjadi di negara-negara berkembang di mana kurangnya dana dan faktor-faktor lain berarti bahwa pemalsuan dan perdagangan obat-obatan palsu diabaikan. Perdagangan obat-obatan palsu meningkat di seluruh dunia dan dapat memiliki konsekuensi serius bagi keselamatan pasien. Potensi negatif yang muncul adalah kerugian fisik, kegagalan pengobatan untuk kondisi tertentu dan efek samping yang tak terduga. Akhirnya konsumen juga yang dirugikan dengan keadaan ini. Dari perspektif produsen lain lagi kerugian yang ditimbulkan. Di samping hilangnya pendapatan yang jelas, ada potensi lain untuk jauh merusak reputasi merek. Sementara penarikan kembali produk pastinya akan menambah biaya pengeluaran.

Negara-negara berkembang lebih rentan terhadap kejadian pemalsuan dan sepertinya belum menjadi masalah yang diprioritaskan, terutama saat regulasi, faktor-faktor politik serta permasalahan ekonomi yang dihadapi masih kompleks. Bila pengadaan bahan baku industri (dalam hal ini farmasi) saja belum menjadi prioritas, maka kita sepertinya masih tetap menjadi pengimpor bahan baku farmasi dan obat-obatan. Semoga pemerintah bisa membuka mata, melihat potensi dan saling membantu sehingga Indonesia bisa mandiri dan tidak lagi mengalami ketergantungan pada bahan baku impor untuk keperluan industri farmasinya.

0 komentar:

Posting Komentar